Rabu, 22 Desember 2010

tulisan bebas softskill pengantar bisnis

                    Indonesia negri bencana
 
 
KEHADIRAN bencana demi bencana seakan-akan tak mau pergi dari tanah air. Indonesia yang indah pun terkoyak dengan banjir bandang di Distrik Wasior, Kabupaten Pulau Wondama. Lalu gempa bumi berkekuatan 7,2 pada skala Richter yang diikuti gelombang tsunami mengguncang pulau menawan, Mentawai, di wilayah Sumatera Barat. Beberapa hari lalu, gunung paling aktif di Indonesia memuntahkan material vulkaniknya. Korban pun berjatuhan. Banyak yang meninggal dunia.
Tetapi, lebih banyak yang hilang dan belum ditemukan. Mereka mungkin juga meninggal dalam keadaan yang memprihatinkan. Sungguh, ini cobaan luar biasa bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono. Atas bencana yang bertubi-tubi, belum lagi dihitung bencana banjir di berbagai daerah yang juga menimbulkan korban, meski tidak begitu besar, sepatutnya kita prihatin dan saling menguatkan untuk ikut meringankan penderitaan sauadara kita.

Caranya, membantu apa yang bisa kita lakukan seraya memberi dukungan kepada aparat pemerintah dan pihak terkait yang bertugas menangani bencana. Ujian dalam bentuk bencana ini bukan saja terhadap kepemimpinan pemerintahan Yudhoyono-Boediono, tapi juga ujian bagi setiap pemimpin di daerah. Sejauh manakah kita selama ini menyikapi alam dan seberapa peduli terhadap perubahan lingkungan dan alam yang sebagaian besar disumbang oleh perilaku masyarakat juga?

Perubahan iklim yang sangat ekstrem sudah terjadi, dan mungkin akan berlangsung hingga tahun depan. Jauh-jauh hari, otoritas yang paling mengetahui hal ini sudah mengingatkan kita akan potensi bahaya yang mengancam. Tapi, banyak masyarakat yang kurang peduli. Bahkan, ketika, seperti dalam kasus bencana gunung merapi, aparat sudah mengingatkan warga yang tinggal di daerah yang dinilai cukup berbahaya untuk mengungsi di posko-posko yang sudah dibangun, masih saja banyak yang menunggu sampai bencana di depan mata.

Akibatnya, korban tewas dan luka tidak terelakkan. Dalam kasus banjir dan luapan air, misalnya, aparat pemerintah daerah setempat, seperti di DKI Jakarta, Tangerang- Banten, dan sejumlah wilayah yang akrab dengan banjir, sudah pula mengingatkan masyarakat untuk menyadari pentingnya menjaga lingkungan bersih dan bebas banjir, yakni dengan membuang sampah pada tempatnya, ikut membersihkan saluran dan gorong-gorong yang tersumbat, dan tidak membangun di atas saluran atau pembuangan air.

Kita tahu, hampir seluruh pulau di Indonesia dilintasi jalur ring of fire (cincin api) Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki banyak koleksi gunung api. Kita juga memahami, negara ini berada di lokasi pertemuan lempeng tektonik besar yang aktif bergerak yang membuatnya sering dilanda gempa bumi. Dengan demikian, pesisir pantai di Indonesia pun berpotensi terkena tsunami. Namun, itulah Indonesia, tanah air yang kita cintai, yang mempersatukan semua penghuninya dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai penduduk yang mendiami tanah ini, kita harus menerima segala berkah dan bencana yang telah dan akan terjadi lalu menyikapinya dengan penuh kearifan. Letusan gunung api dan tsunami merupakan bencana alam yang tidak bisa dipastikan terjadinya. Meski demikian, potensi kejadian keduanya sebetulnya bisa diramalkan sehingga langkah-langkah mitigasi bencana bisa lebih dioptimalkan. Karena itu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) selalu merilis peringatan bahaya akan potensi tsunami begitu ada kejadian gempa bumi berkekuatan di atas 7 pada skala Richter di dekat pantai dengan kedalaman kurang dari 70 km.

Ini karena tsunami biasanya terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah gempa bumi. Berkaca dari kejadian gempa besar diikuti tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 26 Desember 2004, pemerintah daerah setempat mestinya lebih cepat mengungsikan penduduk Mentawai dari wilayah pesisir begitu terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala Richter, Senin (25/10). Begitu pula dalam peristiwa meletusnya gunung merapi. Senin itu, sejak pukul 6.00 WIB, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sudah mengubah status merapi dari waspada menjadi awas karena aktivitasnya.

Peringatan itu semestinya diterjemahkan pemerintah daerah setempat dengan langkah cepat mengungsikan warga ke tempat aman. Akan tetapi, korban sudah jatuh. Kita pun berduka. Tak ada gunanya saling menyalahkan. Sekarang, yang perlu kita lakukan adalah menunjukkan kesalehan sosial terhadap saudara-saudara kita yang selamat dari bencana dan kini tinggal di pengungsian, dengan mengulurkan tangan sesuai kemampuan kita. Kita menuntut pemerintah agar memprioritaskan pemulihan rumah-rumah warga yang tersapu ombak di Mentawai dan relokasi bagi semua warga lereng Merapi.

Kita juga meminta wakil-wakil kita di parlemen agar turun ke lapangan, bukan hanya mementingkan studi banding ke luar negeri. Dengan kehadiran kita di tengah mereka, diharapkan, mereka tidak merasa sendirian atau ditinggalkan. Dengan begitu, mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan gairah kembali. Kita berharap pemerintah dan masyarakat perlu bergerak cepat agar para korban ditangani secara cepat dan tepat. Para pengungsi juga diperhatikan. Tidak hanya soal konsumsi, kelayakan barak pengungsian maupun harta benda serta hewan ternak warga yang ditinggalkan juga perlu diperhatikan.

Bagi masyarakat, ini waktunya untuk meningkatkan solidaritas dan soliditas sosial. Tidak hanya soal Merapi namun juga gempa dan tsunami di Mentawai Sumatra Barat. Beberapa waktu lalu juga terjadi bencana banjir Wasior di Papua Barat. Masyarakat yang mempunyai harta berlebih, silakan membaginya kepada yang membutuhkan. Yang punya waktu, tenaga dan pikiran, mari kita sumbangkan. Jika kita berbagi, penderitaan saudara kita akan terkurangi. Jadi negeri yang kaya dengan bencana ini akan dapat terobati dengan adanya kebersamaan itu.**

Penulis adalah peminat masalah hukum dan social kemasyarakatan, tinggal di Kota Medan. (Tahan Manullang SH)
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/11/01/5799/negeri_kaya_bencana/

1 komentar: